CHA-CHA film bergenre drama kisah seorang ilustrator bebas
Cha-Cha adalah seorang ilustrator muda yang bekerja di sebuah kantor desain di Tokyo. Ia dikenal sebagai sosok yang kadang acak-acakan dan penuh kebebasan — memilih untuk hidup dengan moto “aku tak peduli apa kata orang, aku jalani caraku sendiri”. Suatu hari, di atap gedung perkantoran, Cha-Cha bertemu secara kebetulan dengan Raku, seorang pria yang temperamennya berbeda jauh dari dirinya — tertutup, terstruktur, jauh dari semangat liar Cha-Cha. Perjumpaan ini menjadi titik awal sebuah kisah yang, di luar prediksi Cha-Cha, mulai mengusik kenyamanan dan kebiasaan hidupnya.
Walaupun sangat berbeda — Cha-Cha impulsif, spontan, hidup untuk hari ini; sedangkan Raku lebih tertata, terukur, menjaga jarak — keduanya mulai saling tertarik. Cha-Cha merasa bahwa mungkin dia dan Raku “cocok” meskipun semua indikator berkata sebaliknya. Film mulai menggali bagaimana Cha-Cha, yang selama ini menjalani hidup tanpa peduli terlalu dalam terhadap orang lain, harus mulai mempertanyakan hal-hal yang selama ini ia anggap biasa: apa arti hubungan, apa yang ia inginkan sebenarnya, dan bagaimana menjadi dirinya sendiri sambil membiarkan orang lain masuk.Sementara Raku pun, di hadapan karakter bebas seperti Cha-Cha, menghadapi ketakutannya sendiri — apakah ia bisa membuka diri, merelakan spontaneitas, dan menerima bahwa hidup tak selalu bisa direncanakan hingga detail terakhir.
Di tengah perkembangan hubungan itu, film menyentuh elemen-yang lebih dalam dari sekadar komedi romantis ringan. Meski di permukaan tampak ceria dan ringan, sutradara Mai Sakai menambahkan sentuhan psikologis dan sedikit ketegangan yang membuat karakter Cha-Cha tak hanya hidup liar, tetapi juga mengalami kesepian, keraguan, dan luka batin. Beberapa insiden kecil — perbedaan selera, konflik internal, keengganan di antara teman serta kolega — memaksa Cha-Cha untuk tidak hanya memilih mencintai, tetapi juga mempertimbangkan siapa dirinya di dalam sebuah relasi dan bagaimana ia berhadapan dengan ekspektasi orang lain serta dirinya sendiri.Hubungan mereka kemudian berjalan tidak mulus: tantangan muncul ketika perbedaan gaya hidup dan prioritas mulai tampak, ketika kebebasan Cha-Cha menyebabkan kegelisahan Raku, dan ketika Raku yang aman-aman saja memicu keraguan pada Cha-Cha apakah kebebasannya bisa tetap utuh di dalam sebuah pasangan.
Pada klimaksnya, Cha-Cha harus membuat pilihan: tetap pada jalurnya yang selama ini ia kenal — tanpa peduli orang lain, bebas dan spontan — atau menerima bahwa cinta pun membutuhkan kompromi, kepercayaan, dan membuka diri pada kemungkinan baru. Film ini tidak menutup dengan jawaban yang mutlak, melainkan dengan langkah kecil yang nyata: Cha-Cha dan Raku menemukan titik tengah, bahkan jika belum sempurna, bahwa mereka bisa mencoba bersama.Dengan visual yang cerah, dialog yang ringan namun mengena, serta karakter utama yang terasa sangat manusiawi dalam keraguannya dan keinginannya untuk bersinar, CHA-CHA menjadi kisah tentang mencari identitas, kebebasan, dan cinta yang tak selalu mudah.Bagi penonton yang menyukai film romantis dengan lapisan emosional lebih, CHA-CHA menawarkan perjalanan yang manis sekaligus reflektif — bahwa menjadi diri sendiri dan mencintai bukanlah dua hal yang selalu saling bebas, tetapi bisa berdampingan dengan tantangan yang nyata.