The King of Kings kisah petualangan imajinatif seorang bocah
The King of Kings (2025) Di London pada pertengahan abad 19, sang penulis ternama Charles Dickens berusaha menjangkau imajinasi putranya, Walter Dickens, yang lebih tertarik pada kisah-ksatria dan petualangan daripada pembacaan serius. Dickens, dengan sabar, mendengarkan keinginan Walter — terutama obsesinya pada legenda raja-raja — dan kemudian menawarkan sebuah cerita yang lebih besar: tentang “Raja di atas segala raja”. Melalui pembacaan malam itu, Dickens mengajak Walter dan bahkan kucing peliharaannya, Willa, terlibat dalam sebuah perjalanan imajinatif yang menjembatani masa lalu dan makna kehidupan.
Kisah pun melompat ke zaman kuno, mengikuti kehidupan Jesus Christ—dari kelahiran-Nya di Betlehem, masa pengajaran-Nya di antara rakyat, mukjizat-mukjizat yang diukir-Nya, hingga momen-momen pengkhianatan dan penderitaan yang menghampiri. Walter, yang awalnya skeptis dan tak sabar, disuguhkan visualisasi yang kuat melalui imajinasinya sendiri—ia seakan berjalan bersama para murid, menyaksikan laut tenang yang terbelah, penyakit yang disembuhkan, dan harapan yang terbit di tengah kegelapan.
Ketika cerita mencapai puncaknya, Walter dipaksa menghadapi realitas dari pengorbanan yang tak terbayangkan: kematian di kayu salib dan kebangkitan yang mengubah segalanya. Ia merasakan sendiri, dalam khayalnya, kehampaan makam dan kepedihan kehilangan — namun juga kekuatan pengharapan yang bangkit kembali. Melalui pembacaan ayahnya, Walter dipandu memahami bahwa kekuatan sejati bukanlah milik mereka yang mengenakan mahkota duniawi, tetapi milik Dia yang rela menyerahkan diri demi cinta dan penebusan.
Di akhir perjalanan, Walter kembali ke ruang malam bersama ayahnya, membawa kisah yang kini telah mengubah cara ia melihat dunia. Ia menyadari bahwa kisah terbesar bukanlah sekadar legenda raja-raja kuno, melainkan tentang kasih yang tak terbatas dan harapan yang tak terpadamkan. Dickens terdorong untuk menuliskan kisah itu, sementara Walter membawa inspirasi baru kepada saudaranya dan kucingnya Willa. Film ini mengajak penonton, anak-anak maupun dewasa, untuk menyaksikan “Raja di atas segala raja” melalui mata seorang anak—dan menemukan bahwa harapan, kasih, dan penebusan adalah kisah terbesar yang pernah diceritakan.