Seribu Bayang Purnama kisah pemuda menjadi petani muda
Seribu Bayang Purnama mengisahkan Putro Hari Purnomo (Marthino Lio), seorang pemuda yang pulang ke kampung halamannya di daerah Bantul, Yogyakarta, setelah gagal mengejar mimpi di kota besar. Ia membawa tekad untuk menghidupkan kembali ladang keluarganya dengan menerapkan metode pertanian alami warisan ayahnya yang ramah lingkungan dan hemat biaya, sebagai alternatif dari praktik pertanian konvensional yang bergantung pada pupuk kimia mahal.
Putro segera menghadapi berbagai tantangan: persaingan sengit dengan keluarga rival yang dulunya berpengaruh di desa dan juga mengelola toko pupuk kimia lokal. Masyarakat desa pun terbagi antara mempertahankan metode lama atau menerima pendekatan baru yang disodorkan Putro. Konflik ini mencapai puncaknya dalam kompetisi pertanian lokal yang menentukan siapa yang paling dominan di komunitas.
Di tengah tekanan sosial dan praktik pertanian yang timpang, Putro jatuh cinta dengan Ratih (Givina Lukita Dewi), putri dari keluarga saingan. Hubungan mereka menjadi simbol dilema antara idealisme hati nurani dan realitas keluarga—Ratih mendukung gerakan pertanian alami Putro, memicu konflik internal dan eksternal yang membuat perjuangan mereka semakin pelik.
Lebih dari sekadar drama romansa, film ini menyampaikan pesan kuat tentang regenerasi petani muda dan kesadaran terhadap kedaulatan pangan Indonesia. Visual sinematografi yang menangkap sawah, embun pagi, dan keseharian pedesaan memperkuat narasi perjuangan dan harapan. Bahkan, keuntungan dari penayangan film akan disalurkan untuk program pemberdayaan petani, menjadikan karya ini sarana edukatif dan sosial selain hiburan