Hayya 3: Gaza film drama keluarga disutradarai Jastis Arimba
Hayya 3: Gaza (2025) Abdullah “Gaza” adalah bocah laki-laki berusia delapan tahun yang hidupnya berubah sejak kehilangan ayahnya, seorang relawan kemanusiaan yang meninggal setelah tugas di Palestina. Setelah kejadian itu, Gaza yang kini menjadi yatim piatu dititipkan ke sebuah panti asuhan di Indonesia, yang dikelola oleh Ustazah Dewi dan Rafa Shafira. Kehidupannya di panti membawa suasana baru: meskipun duka masih membekas, Gaza mulai merasakan kehangatan persahabatan dan rasa aman yang mulai tumbuh.
Di panti asuhan tersebut Gaza bertemu dengan Hayya, seorang gadis muda asal Palestina yang sudah empat tahun tinggal di Indonesia karena perang yang berkepanjangan membuatnya tak bisa pulang. Hayya membawa rasa rindu yang dalam terhadap kampung halamannya, suara sirene, kenangan ledakan, dan kehilangan yang terus bersamanya. Bagi Hayya, nama “Gaza” yang disandang Abdullah menjadi kenangan yang hidup—sesuatu yang membuatnya lebih dekat dengan masa lalunya. Persahabatan mereka pun perlahan tumbuh, saling mengisi, saling menyembuhkan luka batin yang keduanya bawa.
Hidup di panti tidak selalu damai. Meskipun lingkungan baru memberi harapan, ancaman tak terduga muncul: konflik kekerasan, kepedihan kehilangan, dan gesekan emosional ketika trauma lama muncul kembali. Gaza dan Hayya harus menghadapi ujian yang tidak hanya mengancam persahabatan mereka, tetapi juga keselamatan mereka. Persoalan keluarga — seperti kembalinya kerabat yang ingin mengambil alih Gaza — dan konflik dengan figur yang mewakili kekuasaan yang keras, membuat mereka sadar bahwa dunia luar sangat berbeda dan tak selalu bisa memberikan perlindungan.
Pada akhirnya, Hayya 3: Gaza menyodorkan pesan bahwa kasih sayang dan persahabatan bisa menjadi obat di tengah penderitaan dan kekerasan. Gaza dan Hayya, melalui pertemuan mereka, menunjukkan bahwa harapan bisa tumbuh dari luka, dan bahwa trauma bukan akhir dari cerita. Film ini mengajak penonton untuk mengingat bahwa di balik konflik dan politik, manusia — terutama anak-anak — menanggung beban yang sangat berat, tetapi juga memiliki kapasitas luar biasa untuk merawat satu sama lain dan menemukan sinar di tengah kegelapan.