Familiar Touch film bergenre drama kisah seorang wanita tua
Familiar Touch (2025) Ruth, seorang wanita lanjut usia dan mantan koki yang tinggal sendiri, memulai hari dengan rutinitas yang tampak nyaman — menyiapkan sarapan di dapur cerahnya, menjalankan resep-resep yang telah lama akrab di tangannya. Namun perlahan-lahan muncul kekeliruan-kekeliruan kecil: ia menaruh roti panggang di rak pengering, atau mengira kunjungan anaknya sebagai “kencan” yang romantis. Saat anaknya, Steve, datang untuk makan bersama, Ruth tampak ceria namun juga bingung akan siapa dia sebenarnya, menandakan bahwa waktu dan memori tak lagi berjalan seperti dulu.
Ketika keputusan dibuat untuk memindahkan Ruth ke sebuah fasilitas assisted living — sebuah komunitas perawatan lanjut usia yang juga memiliki unit memory care — ia merasakan bahwa dirinya telah “terlempar” ke dalam kehidupan yang asing. Ia bertemu dengan para pekerja perawatan seperti Vanessa dan Brian yang sabar mendampingi, tapi Ruth masih bergulat dengan identitasnya: ia melihat dirinya masih sebagai koki yang berdiri di dapur sendiri, menyentuh bahan-makanan dengan yakin, sambil kesadaran bahwa banyak hal yang dulu ia sempurnakan kini mulai menghilang.
Di dalam fasilitas ini, Ruth mengalami fluktuasi antara kejernihan yang penuh rasa dan kebingungan yang tajam: satu saat ia menguasai resep borscht atau menyusun buah secara estetis, di lain waktu ia lupa siapa orang di sekelilingnya atau malah menolak diperlakukan seperti “pasien biasa”. Film ini menangkap dengan lembut bagaimana tubuh dan kebiasaan-kebiasaan lama bisa menjadi jangkar ketika pikiran mulai “lepas” — bagaimana memasak, merasakan tekstur bahan makanan, menyentuh permukaan mangkuk atau buah, menjadi semacam bahasa pengingat bagi Ruth bahwa ia masih di sini, masih ‘ada’.
Pada akhirnya, Familiar Touch bukan hanya tentang kehilangan memori atau ketergantungan, tapi tentang keberlangsungan diri dalam perubahan besar, tentang hubungan antara manusia dan sentuhan — fisik, emosional, dan waktu. Ruth mungkin tak lagi mengenali rumah lamanya atau masa lalunya secara keseluruhan, namun dalam detik-detik ketika ia mengambil pisau, memotong daging, mencicipi buah, atau memanggil nama yang mungkin bukan anaknya, kita menyaksikan bahwa bagian dirinya yang paling inti masih ada. Film ini memperlihatkan bahwa meski sesuatu yang familiar tampak hilang, sentuhan yang benar—baik dari dirinya sendiri, maupun dari orang lain—masih bisa membawa kehangatan, keidentitasan, dan kemanusiaan.