pale horse film bergenre horor Sutradara Pearry Reginald Teo
pale horse Sabian, seorang seniman yang eksentrik dan tertutup, mendapatkan kesempatan unik: ruang bawah tanah galeri seni dikontrakkan sebagai studio pribadinya. Ia menetapkan dua aturan aneh kepada asistennya—tak ada yang boleh masuk saat ia sedang bekerja, dan semua asistennya harus buta. Sabian tampaknya terobsesi dengan pencapaian artistiknya: karya seni yang tidak hanya indah secara visual, tapi juga memancarkan aura misterius dan gelap yang sulit dijelaskan.
Sementara Sabian melukis dengan metode dan suasana yang semakin tidak biasa, kejadian‑keadaan ganjil mulai menghantui galeri dan orang‑orang di sekitarnya. Asisten‑asisten yang buta merasakan kehadiran yang tak kasat mata, bayangan yang bergerak sendiri, suara‑suara bisikan, dan visi mengerikan yang perlahan membuat mereka dan Sabian sendiri mulai meragukan kewarasan mereka. Galeri seni yang awalnya adalah tempat penciptaan berubah menjadi ladang ketegangan supernatural.
Ketenaran Sabian sebagai seniman juga ikut tumbuh: karyanya mulai menarik perhatian kolektor dan publik seni. Namun dengan ketenaran itu datang harga yang makin mahal. Sabian dipicu keinginan untuk lebih: lebih diakui, lebih diingat. Ia merasa bahwa panggilan seni dan rasa iri akan ketidakabisan inspirasi mendorongnya untuk menjalin hubungan yang berbahaya dengan roh atau entitas yang mungkin tidak sepenuhnya berada dalam kendalinya. Cinta/obsesi terhadap Eve, seorang kurator galeri muda yang mulai tertarik pada karyanya, menjadi titik balik — hubungan mereka membawa Sabian ke ambang dilema antara pengabdian seni dan keselamatan jiwanya.
Di klimaksnya, Pale Horse menyodorkan pertaruhan besar: apakah Sabian bisa menguasai kekuatan yang telah ia panggil atau justru akan dikendalikan olehnya? Kegelapan yang awalnya samar menjadi nyata dan semakin sulit dilepaskan: visi‑visi, pengkhianatan, dan manifestasi roh yang telah lama terpendam. Dengan atmosfer gotik dan nuansa horor supranatural yang kental, film berakhir dengan pembalikan harapan — apa yang Sabian pikir sebagai jalan menuju keabadian artistik bisa menjadi kutukan yang menghancurkan. Penonton ditinggalkan dengan pertanyaan: sampai mana seseorang harus menempuh batas antara kreativitas dan kehancuran?