Jodoh 3 Bujang (2025) Fadly, Kifly, dan Ahmad adalah tiga bersaudara bujang yang tinggal di Makassar. Ayah mereka, Mustapa, memiliki keinginan tradisional dan ekonomis: agar ketiga anaknya menikah secara bersamaan, suatu tradisi “nikah kembar” yang dianggap mampu menghemat biaya adat, terutama uang panai yang dalam budaya Bugis‑Makassar bisa sangat tinggi. Ide ini muncul bukan hanya karena mempertahankan adat, tetapi juga karena tekanan ekonomi dan keinginan untuk menyelesaikan kewajiban keluarga dalam satu momentum.

Namun masalah muncul ketika calon istri Fadly, Rifa (atau ada nama Nisa / Rifa dalam beberapa sumber), tiba‑tiba dijodohkan kembali oleh keluarganya dengan pria lain yang dianggap lebih mapan secara finansial dan status sosial. Akibatnya, rencana pernikahan kembar itu terancam gagal total jika Fadly tidak bisa menemukan pengganti calon istri yang cocok dalam waktu yang sudah ditentukan oleh keluarga.

Dalam upayanya mencari pengganti dalam waktu yang singkat, Fadly mengalami berbagai tantangan. Ia mencoba berbagai cara — dari perjodohan tradisional hingga menggunakan aplikasi kencan — semuanya dengan harapan menemukan sosok yang bisa disetujui keluarga dan memenuhi syarat adat. Sementara itu, kedua saudaranya, Kifly dan Ahmad, yang telah memiliki calon masing‑masing, juga merasakan dampak dari kerusuhan rencana yang bubar: persiapan yang sudah mulai, keraguan keluarga, dan ketegangan emosional di antara anggota keluarga serta masyarakat sekitar.

Akhirnya, film ini menyuguhkan paduan antara kelucuan dan haru ketika tradisi, cinta, dan tekanan sosial saling bertabrakan. Dari dialog yang ringan, situasi kocak saat Fadly mencari jodoh dadakan, sampai refleksi tentang adakah jalan tengah antara menjaga adat dan menjaga perasaan manusia, Jodoh 3 Bujang menggambarkan betapa kompleksnya beban tradisi bagi generasi muda. Film ini diakhiri dengan semangat bahwa meskipun banyak rintangan, keluarga dan cinta bisa menemukan cara untuk menyatu, bila ada niat tulus dan pengertian.